BID’AH
Oleh: Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
( Anggota Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia )
·
PENGERTIAN BID'AH
Bid'ah menurut bahasa, diambil dari kata
bid’un yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Sebagaimana dalam
firmanNya:
ßìÏt/ ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur (
Artinya: “Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah : 117]
Maksudnya ialah Allah yg telah menciptakan langit dan bumi
tanpa ada contoh sebelumnya.
Alloh juga berfirman:
ö@è% $tB àMZä. %YæôÎ/ z`ÏiB È@ß9$# !
“Arti :
Katakanlah: ‘Aku bukanlah rasul yg pertama di antara rasul-rasul’.” [Al-Ahqaf :
9].
Maksudnya ialah: Aku bukanlah orang yg pertama kali datang dengan
risalah ini dari Allah Ta'ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak
sebelumku dari para rasul yg telah mendahuluiku.
Dan bila dikatakan: “Fulan
mengada-adakan bid’ah”, maksudnya: memulai satu cara yg belum ada sebelumnya.
Dan perbuatan bid’ah itu ada dua
bagian :
- Perbuatan
bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan/urusan dunia) seperti adanya
penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya
penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya).Ini adalah
mubah (diperbolehkan); karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan/urusan
dunia) adalah mubah.
- Perbuatan
bid’ah di dalam Ad-Dien (Agama Islam) hukumnya haram, karena yang ada
dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah/baku); Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Barangsiapa yang
mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang
bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)”.
Dan di dalam riwayat lain disebutkan yang artinya: “Barangsiapa yang
berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya
di tolak”.
·
MACAM-MACAM BID’AH
Bid’ah dalam Ad-Dien (Islam) ada dua
macam :
1. Bid’ah
qauliyah ‘itiqadiyah:
Bid’ah perkataan yang keluar dari
keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta
semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus
keyakinan-keyakinan mereka.
2. Bid’ah
fil ibadah
Bid’ah dalam ibadah : seperti
beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan
bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
a. Bid’ah
yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah yaitu mengadakan suatu ibadah yang
tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang
tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari
besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain
sebagainya.
b. Bid’ah
yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti
menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
c.
Bid’ah yang terdapat pada sifat
pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan
seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan
suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah
sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
d.
Bid’ah yang bentuknya menghususkan
suatu ibadah yang disyari’atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada.
Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk
shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di
syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan
suatu dalil.
·
HUKUM BID’AH DALAM AD-DIEN
Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien
hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang artinya: ”Janganlah kamu sekalian mengada-adakan
urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. (Hadits Riwayat Abdu Daud, dan
At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih).
Dan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang artinya: “Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang
bukan dari kami maka perbuatannya tertolak”.
Dan dalam riwayat lain disebutkan yang artinya: “Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya
tertolak”.
Makna hadits tersebut menunjukkan
bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat dan tertolak. Artinya bahwa bid’ah di dalam ibadah dan
aqidah itu hukumnya haram. Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk
bid’ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf
mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan
sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli
kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya.
Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya
perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan
Mu’tazilah.
Ada juga bid’ah yang merupakan
sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat
berdo’a disisinya. Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah
sebagaimana halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam
perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga
bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang
keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma
dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).
CATATAN :
Orang yang membagi bid’ah menjadi
bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: ”Sesungguhnya
setiap bentuk bid’ah adalah sesat”.
Karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat, dan
orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak setiap bid’ah itu sesat, tapi
ada bid’ah yang baik.
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan
dalam kitabnya “Syarh Arba’in” mengenai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Setiap bid’ah adalah sesat”, merupakan (perkataan yang mencakup
keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu
merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya yang artinya: “Barangsiapa
mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak”
Jadi setiap orang yang mengada-ada
sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya
dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri
darinya, baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan,
baik lahir maupun batin. Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang
mereka katakan bahwa bid’ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar
Radhiyallahu ‘anhu pada shalat Tarawih : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, juga
mereka berkata : “Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)”, yang
tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu
kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya”.
Adapun jawaban terhadap mereka
adalah: bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari’at,
jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Sebaik-baik
bid’ah adalah ini”, maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa dan bukan bid’ah
menurut syariat.
Apa saja yang ada dalilnya dalam
syariat sebagai rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah” maksudnya adalah bid’ah
menurut arti bahasa bukan menurut syari’at, karena bid’ah menurut syariat itu
tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya.
Dan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu
kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memerintahkan penulisan Al-Qur’an, tapi penulisannya masih
terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu
mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.
Juga shalat Tarawih, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama’ah bersama para
sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat)
khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat
Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu
‘anhu menjadikan mereka satu jama’ah di belakang (shalat) seorang dan hal ini
bukan merupakan bid’ah dalam Ad-Dien.
Begitu juga halnya penulisan hadits
itu ada rujukannya dalam syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadits kepada sebagian sahabat
karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan
hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum adalah
ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur’an.
Ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut,sebab Al-Qur’an
sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar
supaya tidak hilang . semoga Allah Ta’ala memberi balasan yang baik kepada
mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka
Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah
perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.
Disalin dari buku Al-Wala &
Al-Bara
(Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Anggota
Hai’ah Kibaril Ulama Saudi Arabia)